Palu, Sultengekspres.com – Keberadaan jetty milik PT Arasmamulya dan PT Muzo di pesisir utara Kota Palu menuai sorotan anggota DPRD Kota Palu. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPRD, pihak perusahaan, dan perwakilan nelayan dari Kelurahan Taipa serta Mamboro Barat, Rabu (17/9/2025), sejumlah anggota dewan menilai aktivitas dua perusahaan tersebut berpotensi merugikan ruang hidup nelayan.

Anggota Komisi C DPRD Kota Palu, Mutmainah Korona, menegaskan persoalan utama bukan semata menyangkut teknis perizinan, tetapi kepastian keberlangsungan hidup nelayan di pesisir Teluk Palu.

“Yang dibutuhkan adalah kepastian penghidupan nelayan ke depan. Saya mendapat informasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulteng bahwa kedua perusahaan ini belum mengantongi izin RPPKL. Hal ini perlu kita verifikasi,” ujarnya.

Mutmainah menyatakan DPRD Kota Palu akan berkoordinasi dengan DPRD Provinsi Sulawesi Tengah mengingat kewenangan perizinan berada di tingkat provinsi.

“Dampaknya dirasakan langsung oleh warga Kota Palu, sehingga kami berkepentingan memperjuangkan penghidupan nelayan,” tegasnya.

Ketua Komisi C DPRD Kota Palu, Abdurahim Nasar Al Amri, menambahkan bahwa RDP masih menyisakan sejumlah kebingungan karena banyaknya informasi yang belum jelas. Ia menilai peninjauan lapangan menjadi langkah penting untuk memastikan kebenaran informasi.

“Kalau hanya mendengar dari rapat ini jelas kami bingung. Ada yang menyebut di Taipa, ada yang menyebut di Mamboro Barat. Komisi C harus turun langsung agar mengetahui keluhan masyarakat dan solusi yang bisa ditempuh bersama perusahaan,” katanya.

Lurah Mamboro Barat, Megawaty Muid, mengaku belum pernah menerima laporan langsung dari warga terkait persoalan jetty kedua perusahaan tersebut selama hampir empat tahun menjabat.

“Kalau pun ada laporan, biasanya hanya soal pasir yang terbawa arus. Saya berharap bila ada masalah seperti ini, warga kami dilibatkan sejak awal, jangan baru ketika masalah sudah besar,” ujarnya.

Sementara itu, Lurah Taipa, Muhammad Iqbal, menjelaskan bahwa pihak kelurahan hanya memfasilitasi pertemuan antara nelayan dengan perusahaan, bukan memediasi konflik. Ia juga menyebutkan perbedaan kesepakatan terkait kompensasi yang diminta nelayan.

“Waktu itu nelayan meminta bantuan Rp10 juta per orang. Perusahaan tidak sanggup, akhirnya hanya Rp2 juta. Dari 21 nelayan, baru 18 yang menerima, sementara 2 lainnya belum karena tidak hadir atau ada urusan lain,” jelasnya.

Sejumlah anggota dewan menyepakati perlunya peninjauan langsung ke lokasi jetty. Ketua DPRD Kota Palu, Rico Djanggola, menyimpulkan kunjungan lapangan akan dilakukan sebelum ada keputusan lebih lanjut.

“Kita harus melihat langsung kondisi di lapangan agar jelas dan tidak ada simpang siur antara keterangan masyarakat dan perusahaan,” tegas Rico.