“Saya usulkan langsung ke Pemkot di luar dari Pokir saya. Nilainya sekitar Rp300 juta, dan Dokar serta kuda ini tetap akan menjadi aset milik pemerintah,” jelasnya.
Kata Andris, dokar bisa diintegrasikan ke dalam kegiatan wisata, car free day, serta event tahunan Pemkot Palu seperti pawai budaya dan HUT Kota Palu.
“Di Jogja kita lihat bagaimana andong menjadi daya tarik wisata. Palu juga bisa seperti itu. Tinggal bagaimana kita mengelola dengan baik,” ujarnya.
Dirinya berharap, setiap perayaan HUT Kota Palu, dokar bisa kembali hadir walaupun tidak sebanyak dulu, tapi masyarakat tetap bisa melihat dan merasakannya.
Ditambahannya, dokar lebih terjangkau dan mudah dioperasikan masyarakat, dibandingkan kuda pacu yang harganya bisa mencapai Rp80 juta lebih per ekor. Dokar juga dinilai punya nilai sosial dan sejarah yang kuat.
“Kalau kuda pacu, yang bisa ikut hanya yang punya modal. Tapi kalau dokar, masyarakat bisa ikut mengelola, dan itu jauh lebih berdaya,” kata Andris.
Andris berharap upaya pelestarian ini didukung penuh oleh masyarakat dan pemerintah. Ia menyebut bahwa tantangan utama bukan hanya dari sisi biaya, melainkan dari perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin tergantung pada kendaraan bermotor.
“Sekarang tinggal bagaimana kita bangun kesadaran bersama. Saya yakin kalau dikelola serius, dokar punya masa depan lagi di Kota Palu,” tutupnya.





Tinggalkan Balasan