Palu, Sultengekspres.com – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palu, Andris. S. Sos, saat melaksanakan penjaringan aspirasi (Reses) di Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga Kota Palu, Jumat (24/10) menyeruhkan agar kelestarian dokar terus di gaungkan.

Mengingat, kendaraan tradisional khas masyarakat suku Kaili yang hampir punah tersebut, sehingga dirinya berinisiatif agar Dokar di Kota Palu tetap di pertahankan.

Untuk itu, Andris mengusulkan kepada Pemerintah Kota palu, agar menyiapkan anggaran untuk pengadaan 5 unit dokar dan 6 ekor kuda yang akan ditempatkan di beberapa wilayah wisata, khausnya di Dapil I (Palu Selatan – Tatanga).

“Dokar ini bukan sekadar alat transportasi. Ini bagian dari identitas budaya kita. Sayang sekali kalau dibiarkan hilang begitu saja,” ujar Andris.

Anggota dewan yang gema dengan kendaraan tradisional tersebut, mengaku prihatin dengan kondisi dokar di Kota Palu yang kini hampir tidak terlihat lagi.

Kata Andris, untuk saat ini sebagian dokar yang masih ada, berasal dari daerah lain seperti Gorontalo.

“Dulu di Kampung Tengah, hampir setiap rumah punya dokar. Tapi sekarang benar-benar hilang. Saya pikir, ini waktunya kita hidupkan lagi,” katanya.

Menurutnya, pengadaan dokar dan kuda tidak berasal dari pokok-pokok pikirannya (Pokir) anggota dewan, tetapi melalui komunikasi dan pendekatan langsung kepada Pemerintah Kota Palu.

Kata dia, usulan tersebut sudah mendapat persetujuan Provinsi Sulawesi Tengah dari Pemkot Palu.

“Saya usulkan langsung ke Pemkot di luar dari Pokir saya. Nilainya sekitar Rp300 juta, dan Dokar serta kuda ini tetap akan menjadi aset milik pemerintah,” jelasnya.

Kata Andris, dokar bisa diintegrasikan ke dalam kegiatan wisata, car free day, serta event tahunan Pemkot Palu seperti pawai budaya dan HUT Kota Palu.

“Di Jogja kita lihat bagaimana andong menjadi daya tarik wisata. Palu juga bisa seperti itu. Tinggal bagaimana kita mengelola dengan baik,” ujarnya.

Dirinya berharap, setiap perayaan HUT Kota Palu, dokar bisa kembali hadir walaupun tidak sebanyak dulu, tapi masyarakat tetap bisa melihat dan merasakannya.

Ditambahannya, dokar lebih terjangkau dan mudah dioperasikan masyarakat, dibandingkan kuda pacu yang harganya bisa mencapai Rp80 juta lebih per ekor. Dokar juga dinilai punya nilai sosial dan sejarah yang kuat.

“Kalau kuda pacu, yang bisa ikut hanya yang punya modal. Tapi kalau dokar, masyarakat bisa ikut mengelola, dan itu jauh lebih berdaya,” kata Andris.

Andris berharap upaya pelestarian ini didukung penuh oleh masyarakat dan pemerintah. Ia menyebut bahwa tantangan utama bukan hanya dari sisi biaya, melainkan dari perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin tergantung pada kendaraan bermotor.

“Sekarang tinggal bagaimana kita bangun kesadaran bersama. Saya yakin kalau dikelola serius, dokar punya masa depan lagi di Kota Palu,” tutupnya.