Korupsi pertambangan lanjut dia, mengakibatkan kerusakan ekologis, sehingga membutuhkan biaya dan pemulihan negara. Demikian halnya dengan korupsi energi atau air bersih yang berakibat pada akses public menjadi terganggu.
“Korupsi bansos/anggaran publik mengakibatkan penderitaan langsung masyarakat. Korupsi jenis ini bukan hanya merugikan keuangan negara, tapi juga merugikan perekonomian negara karena telah menggerus kesejahteraan atau kualitas hidup masyarakat secara berlapis,” ungkapnya.
Imanuel mengatakan, perbedaan pemahaman tentang alat bukti standar pembuktian kerugian non-keuangan (lingkungan, sosial, ekologi) belum seragam, sehingga sekatan antar lembaga (Silo institution) ego sektoral menghambat alur informasi dan kecepatan penindakan, yang berakibat pada perbedaan interpretasi kewenangan kelemahan pemetaan peran antara APH, auditor, regulator sektor, dan pemangku kebijakan.
“Hal ini di sebakna oleh kurangnya data terintegrasi lintas sektor khususnya data pertambangan, energi, hutan, lingkungan dan tata ruang. Tekanan kepentingan lokal dan nasional pada kasus yang menyangkut hajat hidup orang banyak, juga tekanan politik dan ekonomi jauh lebih tinggi,” pungkasnya.
Ditambahkannya, sehingga belum adanya standar nasional kerugian lingkungan atau ekologi sebagai kerugian keuangan (perekonomian negara) yang menjadi kunci untuk kasus tambang ilegal, hutan, air, pangan, dan energi.
“Kerangka kesamaan pandang yang Harus dibangun, berikut pilar “Kesamaan Paradigma Penanganan Korupsi. Bahwa korupsi yang menyangkut hajat hidup orang banyak sama dengan extraordinary threat, yang indikatornya, menyentuh 5000 orang, mempengaruhi akses dasar publik, menyebabkan kerusakan jangka panjang, mengancam kesehatan, keselamatan, atau lingkungan. Pilar ini menjadikan kasus-kasus tertentu mendapat prioritas penanganan,” tambahnya.





Tinggalkan Balasan