Bahkan pada tahun 2021, kerugian yang dialami mencapai USD1,06 miliar. Dampak dari kondisi keuangan yang semakin buruk ini sangat dirasakan oleh karyawan.
Sritex terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 10.669 karyawan. Langkah ini tidak hanya memengaruhi kinerja operasional, tetapi juga memberikan dampak sosial yang signifikan bagi ribuan keluarga yang kehilangan sumber penghasilan.
Selain penurunan pendapatan, nilai aset Sritex juga terus mengalami penurunan. Pada tahun 2020, aset perusahaan sempat mencapai USD1,85 miliar, namun pada Juni 2024 hanya tercatat sebesar USD617 juta.
Dengan deklarasi kepailitan, Sritex Group beserta anak perusahaannya seperti PT Sritex Sukoharjo, PT Primayudha Mandirijaya Boyolali, PT Sinar Pantja Djaja Semarang, dan PT Bitratex Industries Semarang wajib menjual seluruh aset untuk melunasi kewajiban utang kepada para kreditur.
Kepailitan Sritex menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya pengelolaan keuangan yang sehat dan strategi adaptasi di tengah dinamika pasar global.
Transformasi digital, inovasi produk, dan diversifikasi portofolio menjadi kunci untuk mencegah krisis serupa di masa depan, serta menjaga stabilitas operasional dan kesejahteraan karyawan.
Tinggalkan Balasan