Jakarta, sultengekspres.com – Perusahaan tekstil terbesar Indonesia, Sritex, kini dinyatakan pailit karena beban utang yang sangat besar dan kinerja keuangan yang merosot drastis.
Dengan total utang mencapai USD1,597 miliar atau setara Rp25 triliun (kurs Rp15.600), jumlah tersebut jauh melebihi aset perusahaan yang hanya mencapai USD617,33 juta (sekitar Rp9,65 triliun). Ketidakseimbangan finansial inilah yang menjadi pemicu utama kepailitan Sritex.
Krisis bermula ketika salah satu kreditur mengajukan gugatan yang kemudian dikabulkan. Selama beberapa tahun terakhir, pendapatan Sritex terus menurun.
Pada semester I 2024, penjualan hanya mencapai USD131,73 juta, turun dibandingkan USD166,9 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Di sisi lain, beban penjualan mencapai USD150,24 juta sehingga mengakibatkan kerugian sebesar USD25,73 juta atau setara Rp402,66 miliar.
Tren penurunan ini tidak baru; pada tahun 2023, kerugian tercatat mencapai USD174,84 juta (Rp2,73 triliun) dan selama masa pandemi Covid-19, kerugian melonjak hingga mencapai USD391,56 juta (Rp6,12 triliun).
Bahkan pada tahun 2021, kerugian yang dialami mencapai USD1,06 miliar. Dampak dari kondisi keuangan yang semakin buruk ini sangat dirasakan oleh karyawan.
Sritex terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 10.669 karyawan. Langkah ini tidak hanya memengaruhi kinerja operasional, tetapi juga memberikan dampak sosial yang signifikan bagi ribuan keluarga yang kehilangan sumber penghasilan.
Selain penurunan pendapatan, nilai aset Sritex juga terus mengalami penurunan. Pada tahun 2020, aset perusahaan sempat mencapai USD1,85 miliar, namun pada Juni 2024 hanya tercatat sebesar USD617 juta.
Dengan deklarasi kepailitan, Sritex Group beserta anak perusahaannya seperti PT Sritex Sukoharjo, PT Primayudha Mandirijaya Boyolali, PT Sinar Pantja Djaja Semarang, dan PT Bitratex Industries Semarang wajib menjual seluruh aset untuk melunasi kewajiban utang kepada para kreditur.
Kepailitan Sritex menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya pengelolaan keuangan yang sehat dan strategi adaptasi di tengah dinamika pasar global.
Transformasi digital, inovasi produk, dan diversifikasi portofolio menjadi kunci untuk mencegah krisis serupa di masa depan, serta menjaga stabilitas operasional dan kesejahteraan karyawan.
Tinggalkan Balasan