Meski kelapa diabaikan dalam beberapa dekade terakhir, Rustam optimistis komoditas ini masih punya peluang besar. Permintaan pasar masih tinggi, baik di dalam maupun luar daerah.

“Pasar kopra di Surabaya, Gorontalo, bahkan ekspor, masih terbuka. Kita cuma butuh konsistensi dan dukungan kebijakan,” kata Rustam.

Dukungan dari pemerintah memang ada. Mulai dari bantuan bibit, subsidi pupuk, hingga pelatihan teknis. Tapi Rustam menyebut semuanya masih berjalan sendiri-sendiri. Belum ada payung besar yang mengarahkan pengembangan kelapa sebagai program strategis jangka panjang.

“Kalau dibiarkan sporadis, hasilnya tidak maksimal. Padahal kalau terintegrasi, kelapa bisa jadi tulang punggung ekonomi desa,” tambahnya.

Bagi Rustam, bicara kelapa bukan cuma soal pertanian. Tapi juga tentang identitas dan warisan. Ia menyebut kelapa sebagai “penghidupan, sejarah, dan harapan” bagi masyarakat pesisir dan pedesaan di Sulawesi Tengah.

“Kelapa adalah kisah hidup banyak keluarga di sini, termasuk keluarga saya. Saya tidak ingin generasi berikutnya hanya mendengar cerita masa lalu soal kejayaan kopra,” ujarnya.

Karenanya, ia berharap pemerintah provinsi bersama kabupaten/kota mulai memberi perhatian serius. Revitalisasi kelapa di Sulteng dalam harus jadi agenda penting dalam pembangunan pertanian.

“Kelapa bukan tanaman biasa. Ia pernah membuat Sulteng dikenal di seluruh Indonesia. Sekarang waktunya kita rebut kembali kejayaan itu,” tutup Rustam penuh semangat. ***