Palu, Sultengekspres.com – Kasus penganiayaan yang dialami anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Banggai dari Fraksi Partai Gerindra, Lutpi Samaduri, akhirnya memperoleh kepastian hukum melalui putusan Pengadilan Negeri (PN) Kelas II Luwuk, Kabupaten Banggai.
Peristiwa tersebut sempat menghebohkan masyarakat karena terjadi pada dini hari menjelang pelaksanaan pemilihan ulang kepala daerah pascaputusan sengketa Pilkada Kabupaten Banggai di Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2025. Insiden itu berlangsung pada Sabtu, 5 April 2025, sekitar pukul 03.00 WITA.
Upaya konfirmasi dilakukan kepada korban, Lutpi Samaduri, terkait perkembangan perkara yang dialaminya. Namun, yang bersangkutan meminta agar konfirmasi disampaikan langsung kepada kuasa hukumnya, Riswanto Lasdin, S.H., M.H., C.L.A.
Riswanto yang ditemui di Pengadilan Negeri Kelas IA Palu, Kamis (4/12), membenarkan bahwa dirinya ditunjuk sebagai kuasa hukum korban. Penunjukan tersebut dilakukan karena perkara yang sebelumnya dilaporkan ke Polres Banggai dinilai berjalan cukup lama.
“Ketika ditunjuk sebagai kuasa hukum, koordinasi segera dilakukan dengan Polres Banggai dan Kejaksaan Negeri Luwuk agar penanganan perkara menjadi lebih efektif,” ujarnya.
Riswanto menjelaskan bahwa perkara tersebut telah diputus oleh Pengadilan Negeri Kelas II Luwuk melalui Putusan Nomor 133/Pid.B/2025/PN.LWK tertanggal 18 September 2025.
Dalam putusan tersebut, Kejaksaan Negeri Luwuk mendakwa dua orang terdakwa, yakni Arfat A. Iskandar, warga Desa Moilong, Kecamatan Moilong, dan Rusli, warga Desa Pandan Wangi, Kecamatan Toili Barat, Kabupaten Banggai, sebagai pelaku penganiayaan.
“Kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sejak tahap penyidikan di Polres Banggai, para terdakwa telah ditahan,” ungkapnya.
Menurut Riswanto, peristiwa penganiayaan bermula dari adanya isu praktik politik uang (money politics) pada Pilkada Banggai 2025 yang dituduhkan kepada kliennya. Isu tersebut memicu sekelompok massa mendatangi rumah mertua korban di Desa Sentral Timur, Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai, serta melakukan penggeledahan di dalam rumah dan mobil milik korban.
“Berdasarkan fakta persidangan, tuduhan praktik politik uang tersebut tidak pernah terbukti. Sebaliknya, justru klien mengalami penganiayaan yang kemudian melalui proses penyelidikan dan penyidikan terbukti dilakukan oleh kedua terdakwa,” jelasnya.
Dalam persidangan, dihadirkan tujuh orang saksi, termasuk korban. Berdasarkan keterangan saksi korban, di antara kerumunan massa pada saat kejadian terdapat Beniyanto Tamoreka, anggota DPR RI, yang disebut memerintahkan penggeledahan kendaraan milik korban. Namun, tidak ditemukan uang atau barang yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran Pilkada.
“Putusan ini membuka fakta hukum bahwa peristiwa tersebut tidak seharusnya terjadi, terlebih korban merupakan pejabat daerah yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum,” tambah Riswanto yang juga menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia (DPP KAI).
Lebih lanjut disampaikan bahwa kedua terdakwa telah menjalani penahanan selama empat bulan. Berdasarkan putusan pengadilan, para terdakwa dijatuhi pidana penjara selama empat bulan dengan masa percobaan satu tahun. Penambahan kualifikasi pemidanaan tersebut dilakukan karena adanya sikap memaafkan dari korban.
“Klien dengan ketulusan telah menyatakan memaafkan para terdakwa,” ujarnya.
Meskipun demikian, upaya hukum lanjutan tetap terbuka apabila di kemudian hari ditemukan fakta baru yang memperkuat keterlibatan pihak lain sebagaimana tercantum dalam putusan pengadilan.





Tinggalkan Balasan