Palu, Sultengekspres.com – Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, melalui Seksi Penerangan Hukum, Selasa (9/9) menggelar Jaksa Masuk Sekolah (JMS) di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Palu, untuk mengajarkan pentingnya menggunakan media sosial.

Mengingat di SMA 2 Palu, saat ini maraknya aksi bully di Medsos, sehingga peran orang tua sangat penting sebagai kontrol terhadap anaknya.

Kehadiran program JMS di SMA 2 Palu, sangat penting untuk memberikan edukasi kepada siswa sejak dini, sehingga menjadi pedoman di masa mendatang.

Kepala SMA Negeri 2 Palu, Edi Siswanto, dalam sambutannya mengatakan, JMS merupakan program dari Kejaksaan untuk memberikan edukasi kepada siswa agar terhindar dari hal-hal yang dapat merugikan diri daripada siswa.

Sementara itu, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sulteng, La Ode Abd. Sofyan. SH.H, dalam materinya mengatakan, peran orang tua sangat penting dalam memberikan edukasi kepada anaknya agar bijak bermedia sosial.

‘Penggunaan media sosial terhadap anak-anak, bagaimana peran orang tua. Jadi memang satu di lema karena penggunaan Medsos sudah menjadi satu kebutuhan, apalagi dikalangan siswa SMA, jadi perlu kontrol orang tua terhadap anaknya,” tandasnya.

Laode menekankan, kontrol dari orang tua sangat di harapkan. Karena peran orang tua mampu memberikan efek positif.

“Terkadang kita terlena terbawa dengan berbagai bentuk permainan yang ternyata digiring pelan-pelan untuk melakukan permainan itu,” ujarnya.

Kata La Ode, permainan yang di maksud yakni, berawal dari permainan game yang digiring kearah bermain judi online.

“Disitulah kontrol orang tua yang paling mengambil peran dalam penggunaan sarana yang lebih disiplin,” pungkasnya.

Sedangkan terkait Restorasi Justice (RJ), La Ode mengatakan, dalam penanganan perkara tidak selamanya harus berakhir di pengadilan dan pelaku dapat diberi hukuman.

Tapi kata dia, penanganan perkara dapat diselesaikan dengan cara RJ, yakni bisa diselesaikan dengan jalan saling memberi maaf antara pelaku dan korban.

Dimana kata dia, antara pelaku dan korban saling menyadari sehingga dapat memberikan maaf kepada pelaku, dan pelaku berjanji tidak akan melakukan perbuatan yang sama.

“Pelaku bisa lebih menyadari apa yang dilakukannya, dan korban apa yang dialami kemudian tidak menjadi konsumsi publik yang lebih luas,” jelasnya.

Ditambahkannya, antara pelaku dan korban bisa saling memberi maaf, sehingga bisa kembali ke keadaan perdamaian,” katanya. ( lam)