Palu, sultengekspres.com – Perusakan lingkungan oleh aktivitas pertambangan di Sulawesi Tengah kembali menjadi sorotan tajam. Anggota DPRD Sulawesi Tengah, Muhammad Safri, menyampaikan kekhawatirannya dan menuntut tindakan tegas terkait pembabatan hutan mangrove di Desa Siuna, Kecamatan Pagimana, Kabupaten Banggai, oleh sejumlah perusahaan tambang nikel.

Menurut legislator dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini, aktivitas perusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tambang merupakan pelanggaran hukum serius yang tidak bisa ditoleransi.

“Membabat dan menimbun hutan mangrove untuk kepentingan tambang tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga merupakan tindakan ilegal yang dapat dikenai sanksi hukum yang berat,” ujar Safri kepada awak media pada Senin (28/7/2025).

Safri menegaskan bahwa tindakan merusak atau mengubah fungsi hutan mangrove untuk kepentingan pertambangan secara gamblang melanggar sejumlah regulasi penting di Indonesia. Ia merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

“Merusak atau mengubah fungsi hutan mangrove untuk kepentingan tambang, seperti membuka lahan atau menimbunnya, merupakan tindakan yang melanggar UU 32 Tahun 2009 Tentang PPLH,” tegasnya, menunjukkan landasan hukum yang kuat atas pernyataannya.

Tak hanya UU PPLH, Sekretaris Komisi III DPRD Sulteng ini juga menekankan bahwa perusakan ekosistem mangrove juga melanggar UU Nomor 27 Tahun 2007 Juncto UU Nomor 1 Tahun 2014. Undang-undang ini secara eksplisit mengatur larangan merusak mangrove dan memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk menindak tegas pelakunya.

“UU/27/2007 Juncto UU/1/2014 jelas melarang kegiatan industri atau pembangunan apa pun yang merusak ekosistem mangrove dan aparat penegak hukum dapat menindak tegas pelaku perusakan mangrove,” urai Safri, menjelaskan implikasi hukum dari tindakan tersebut.

Melihat situasi yang mengkhawatirkan ini, Muhammad Safri mendesak Gubernur Sulawesi Tengah untuk tidak ragu mengambil langkah tegas terhadap perusahaan-perusahaan tambang yang terbukti merusak lingkungan dan abai terhadap tanggung jawab sosialnya.

“Kami mendesak Gubernur Sulteng dan aparat penegak hukum agar tidak hanya melakukan pemantauan, tetapi juga menindak tegas perusahaan tambang yang melakukan perusakan mangrove,” desaknya, menuntut respons yang lebih konkret dari pemerintah daerah.

Mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini juga secara spesifik mengingatkan Gubernur Sulteng untuk mengevaluasi kinerja Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi. Penilaian ini didasarkan pada sorotan masyarakat yang menilai DLH tidak serius dalam menangani persoalan masalah lingkungan yang timbul akibat aktivitas pertambangan.

“Evaluasi ini penting untuk menjawab sorotan masyarakat terhadap kinerja Kadis DLH yang dinilai tidak serius menangani masalah lingkungan akibat aktivitas tambang,” ucap Safri, menekankan urgensi perbaikan kinerja instansi terkait.

Safri menekankan kembali bahwa keberadaan hutan mangrove memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan kelangsungan hidup ekosistem pesisir. Fungsi vital mangrove meliputi :

  • Pelindung Pesisir : Melindungi garis pantai dari abrasi, erosi, dan dampak gelombang pasang, termasuk potensi tsunami.
  • Habitat Biota Laut : Menjadi rumah dan tempat berkembang biak bagi berbagai jenis ikan, kepiting, udang, dan biota laut lainnya, yang mendukung mata pencarian masyarakat pesisir.
  • Penyerap Karbon : Berperan sebagai penyerap karbon dioksida yang efektif, membantu mitigasi perubahan iklim.

“Keberadaan hutan mangrove sangat penting. Untuk itu, perlindungan hutan mangrove memerlukan penegakan hukum yang kuat, termasuk pemberian sanksi yang setimpal bagi pelaku perusakan,” pungkas Safri, menutup pernyataannya dengan seruan untuk penegakan hukum yang tegas demi keberlanjutan lingkungan pesisir Sulawesi Tengah.