Adhi tidak mampu berkata-kata. Ia hanya menundukkan wajahnya ke bahu ibunya, membiarkan air matanya jatuh di kain lusuh yang dipakai wanita itu.
Bertahun-tahun ia hidup dalam kelam, menjauh dari kasih sayang yang sekarang terasa begitu hangat.
“Maaf, Bu… Maaf… Saya sudah banyak berbuat salah…” katanya terisak.
“Tak apa, Nak… yang penting kamu sudah kembali. Pulanglah bersamaku,” bisik sang Ibu sambil mengusap rambut putranya yang kusut.
Adhi, ibunya, dan Tante Rin untuk beberapa saat kemudian berbincang-bincang. Mereka ingin mendengar kisah perjalanan Adhi hingga sampai ke Kota Palu.
Mereka bertiga pun tak kuasa menahan tangis haru, terutama ibunya Adhi. Di pipinya, air mata tak henti-hentinya menetes perlahan. Sesekali ia menyeka air matanya dengan tisu.
Pertemuan itu menjadi reuni pertama Adhi dengan ibu kandungnya beserta tantenya yang lama tak bersua.
1.1 Kepulangan
Di rumah sederhana di sebuah gang sempit, Adhi disambut dengan pelukan haru oleh adik-adiknya, Yudhi, Kandar, dan Nita. Mereka semua menangis dalam kehangatan keluarga yang selama ini dirindukan.
Malam itu, mereka makan bersama, sebuah kebersamaan yang sudah lama hilang dari hidup Adhi.
Di tengah-tengah suapan, Nita bertanya pelan, “Kak, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Kakak bisa sampai ke sini?”
Adhi meletakkan sendoknya, menghela napas panjang, lalu mulai bercerita. Tentang kehidupannya yang berantakan, tentang keegoisannya, tentang bagaimana ia kehilangan segalanya—istri, anak-anak, pekerjaan, bahkan harga dirinya.
Saat kata demi kata meluncur dari bibirnya, air mata kembali menetes. Semua yang ada di meja makan terdiam, ikut merasakan kepedihan yang ia alami.
Ibunya menggenggam tangannya erat. “Nak, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Allah masih memberimu kesempatan.”
Hari demi hari, Adhi belajar menerima kenyataan. Ia mulai menjalani kehidupan yang lebih baik dengan bimbingan ibunya dan dukungan saudara-saudaranya.
Namun, rasa kehilangan terhadap kedua anaknya tetap menjadi luka yang sulit sembuh.
Setiap malam, ia sering duduk termenung, menatap langit, berharap suatu hari nanti ia bisa menebus semua kesalahannya dan mendapatkan kembali cinta anak-anaknya.
Tanpa terasa, setahun berlalu. Adhi kini bukan lagi lelaki yang dulu. Ia bangkit, perlahan tapi pasti.
Ia mulai bekerja, memperbaiki hubungan dengan keluarga, dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Dukungan dari ibu dan saudara-saudaranya menjadi kekuatan terbesar dalam langkahnya.
Di suatu malam, ia menatap foto anak-anaknya yang sudah lama tidak ia lihat. Dengan hati yang penuh harapan, ia berjanji pada dirinya sendiri.
“Aku akan menjadi ayah yang lebih baik. Aku akan kembali pada mereka.”
Langit malam di Kota Palu terasa lebih cerah. Angin yang berhembus kini membawa harapan, bukan lagi kesedihan. Adhi tahu, jalannya masih panjang, tetapi ia siap melangkah. Demi ibunya, demi keluarganya, dan terutama, demi kedua anaknya yang selalu ada di hatinya.
(Bersambung…)
Tinggalkan Balasan