Palu, SultengEkspres.com – Di balik perayaan Hari Ulang Tahun ke-61 Provinsi Sulawesi Tengah, terselip sebuah kekhawatiran yang datang dari seorang akademisi senior. Dr. Ir. Rustam Abdul Rauf, MP, dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, menyoroti merosotnya produktivitas dan luas lahan kelapa di daerah yang dulu dikenal sebagai penghasil kopra utama di Indonesia.

“Kelapa adalah identitas Sulawesi Tengah. Bahkan di logo provinsi ini adalah pohon kelapa. Dulu kita raja kopra. Pertanyaannya sekarang: kenapa kita biarkan itu kian tergerus?” kata Dr. Rustam saat diwawancarai di Palu.

Ia berbicara bukan hanya dari balik meja akademik. Alumni Doktoral IPB ini membawa rekam jejak keluarga yang lekat dengan dunia kelapa. Ayahnya, H. Abdul Rauf, adalah pekebun kelapa dan pengusaha kopra sukses di Parigi Moutong. Kini, semangat itulah yang ia teruskan, tapi lewat dunia pendidikan dan advokasi pertanian.

Secara nasional, tren kelapa memang terus menurun. Data menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, lahan kelapa di Indonesia menyusut dari 3,76 juta hektare pada 2011 menjadi 3,37 juta hektare pada 2021—turun lebih dari 10 persen. Kondisi serupa terlihat di Sulawesi Tengah.

“Di atas kertas, kita masih punya lahan luas. Tapi jangan tertipu angka. Banyak pohon kelapa yang sudah renta, tidak produktif lagi,” tegas Rustam.

Data Dinas Perkebunan Sulteng menyebut, ada 214.143 hektare lahan kelapa di 11 dari 13 kabupaten/kota pada 2021. Kabupaten Banggai jadi yang terluas, mencapai 57.138 hektare atau 33,91 persen dari total areal. Tapi produktivitasnya ironis: hanya 0,86 ton per hektare—terendah di provinsi ini.

“Ini jelas alarm. Lahan luas, tapi hasil minim. Artinya, ada yang tidak beres, terutama dari sisi manajemen dan umur tanaman,” ujarnya.

Menurut Rustam, solusi paling mendesak adalah replanting—atau peremajaan kelapa. Banyak pohon yang berumur lebih dari 60 tahun dan sudah waktunya diganti dengan bibit unggul. Namun peremajaan bukan sekadar tanam ulang. Ia harus didukung dengan sistem pelatihan, teknologi, dan integrasi pasar.

“Petani kita masih pakai bibit sendiri, pupuk mahal, dan akses teknologi sangat terbatas. Ini harus dibenahi dari hulu ke hilir,” jelas pria kelahiran Ampibabo, 3 Juni 1974 itu.

Rustam juga menyarankan agar momen ulang tahun Provinsi Sulteng dimanfaatkan sebagai titik balik menyusun strategi pengembangan kelapa dalam. Ia mengusulkan empat langkah konkret: Replanting terstruktur dengan dukungan pemerintah dan bibit unggul, Pelatihan dan pendampingan teknologi untuk meningkatkan hasil panen, Penguatan pasar dan distribusi produk turunan seperti kopra dan minyak kelapa; dan Inovasi produk olahan agar memberi nilai tambah bagi petani.